Fokuslah Pada Apa yang Penting-penting Saja!
Hi Rupawan People tahu ga sih terhitung sejak juli 2019 buku berjudul "The Subtle Art of Not Giving a F*ck" telah terjual sebanyak 6 juta copy! Sekarang kita bakalan bahas intisari buku tersebut.

Di dalam buku karangan Mark Manson ini menerangkan bagaimana kehidupan era modern ini sangat penuh dengan pilihan. Entah itu tentang karir, pasangan, atau bahkan sesederhana sumber berita saja, kita punya banyak banget pilihan yang tersedia. Pertanyaannya, kenapa ini tidak menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup? Kenapa masih saja banyak dari yang merasa stress dan tetap merasa ada sesuatu yang kosong?

Pilih Ambisi yang Tepat untuk Diperjuangkan
Banyak orang yang menetapkan sebuah ambisi untuk mencapai suatu target, tapi sayangnya target itu tidak membawa perubahan yang signifikan di dalam hidupnya. Entah karena target yang dipilih tidak begitu jelas, atau karena target itu tidak membuat mereka bahagia.
Lalu ketika harus menghadapi tantangan-tantangan yang diperlukan, malah akan membuat mudah patah semangat dan menyerah. Salah satunya yang dicontohkan oleh penulis buku ini sendiri.
Mark Manson awalnya sadar, kalau dia ternyata suka menulis tentang hubungan percintaan. Sehingga, dia memutuskan untuk menulis blog tentang tips-tips kencan. Pada saat baru pertama kali memulai, memang agak sulit. Namun, lama kelamaan, karena memang dia suka dengan apa yang dia lakukan, perjuangan yang dia lakukan ini pun terbayarkan. Dalam kurun waktu yang tidak berapa lama, blognya telah memiliki ratusan ribu pembaca, serta menghasilkan uang yang cukup untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama.
Jadi, ketika kita mencoba menentukan target, tentukanlah target yang jelas dan membuat kita semangat dalam melakukan itu. Fokuslah pada target yang ingin dicapai dan kita bisa mengabaikan hal-hal lain yang kurang penting.

Punya Prinsip Kuat Jauh Lebih Penting Daripada Definisi Sukses itu Sendiri
Ada dua contoh musisi ternama dunia, yang memiliki definisi kesuksesan yang berbeda. Dua musisi ini pernah bernasib sama. Mereka sama-sama pernah dikeluarkan dari band yang mereka bentuk sendiri.
Musisi yang pertama adalah Mustaine, yang dimana pada tahun 1983, dia dikeluarkan dari Megadeth. Sedangkan musisi yang satunya lagi, bernama Pete Best, yang dikeluarkan dari grup band The Beatles. Semenjak dikeluarkan dari grup band masing-masing, mereka mempunyai cara pandang hidup yang berbeda. Mustaine masih merasa belum terima dengan keputusan itu, karena dia merasa sama sekali tidak diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya. Setelah keluar dari Megadeth, dia berlatih dengan sangat keras dan mencari partner musisi lain dan membentuk sebuah band.
Band inilah yang saat ini dikenal sebagai Metallica. Namun, karena Mustaine mengukur kesuksesan yang dia miliki berdasarkan pencapaian-pencapaian band sebelumnya, dia tetap merasa gagal. Meskipun, jelas-jelas dia sudah berhasil bangkit dan membuat kesuksesannya sendiri. Mustaine sempat berada pada fase kekecewaan yang sangat mendalam bahkan ia merasa depresi! Beda ceritanya dengan Pete Best.
Pete Best juga sempat kecewa pada saat dikeluarkan dari band lamanya, yang pada saat itu naik daun, Pete mencoba mengubah prinsip yang dia punya. Bayangkan, ia dikeluarkan dari band terbaik sepanjang masa: The Beatles! Dia menyadari jika apa yang sebenarnya dia inginkan adalah kebahagiaan keluarga dan kehidupan yang tenteram dan sejahtera.
Meskipun pada dasarnya dia tetap kembali bermusik, namun Pete bukannya merasa gagal, malah dia mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia dari sebelumnya, karena ia berhasil mengalihkan fokusnya dari ketenaran pada cinta kasih. Nah, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kedua musisi ini? Prinsip hidup yang benar pada dasarnya jauh lebih penting daripada definisi kesuksesan itu sendiri.

Prinsip yang Bagus Tidak Bisa Didasarkan pada Kesuksesan Materi
kita sudah melihat bahwa membanding-bandingkan kesuksesan kita dengan orang lain hanya akan membawa kekecewaan. Nah, ini hanyalah salah satu dari beberapa prinsip yang harus kita hindari karena dapat membuat kita menjalani hidup yang nggak happy.
Selain itu faktanya, prinsip yang dilandasi kesuksesan material dan bertolak ukur sebatas bersenang-senang, juga sama bahayanya lho! Riset telah membuktikan kalau orang-orang yang menganggap kesenangan itu adalah kenikmatan tertinggi cenderung lebih mudah gelisah dan depresi. Ada penelitian yang menunjukkan, ketika kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi, dengan menjadi lebih kaya, nggak akan lagi meningkatkan kebahagiaan secara signifikan.
Di sisi lain, mengejar kekayaan bahkan bisa berdampak buruk kalau kita memilih untuk memprioritaskan itu, di atas nilai-nilai seperti keluarga, kejujuran, dan juga integritas. Misalnya, ketika ada teman yang punya mobil baru, atau jam tangan Rolex keluaran terbaru, kita buru-buru untuk tidak mau kalah saing. Meskipun sebenarnya, hal-hal seperti ini sama sekali tidak menambah ketenangan hidup.
Lalu, bagaimana agar kita bisa menetapkan prinsip hidup yang baik? Nah, pertama, prinsip kita harus berdasarkan sesuatu yang realistis. Sesuai dengan kondisi kita sekarang. Kedua, harus bermanfaat untuk banyak orang. Terakhir harus memiliki efek langsung dan bisa dikontrol. Contohnya, kita bisa berprinsip untuk menjadi orang yang jujur dan berintegritas.

Bertanggung Jawab Penuh atas Diri Kita Sendiri
Rupawan People pasti sudah paham, tidak ada yang memegang tanggung jawab atas diri kita selain kita sendiri. Nah, tapi banyak sekali orang-orang di luar sana yang ketika menghadapi suatu tantangan atau cobaan dalam hidup, selalu merasa menjadi korban.
Misalnya, “Kenapa harus hujan, sih?” atau “Cuaca kok panas banget, ya.” atau “Kenapa nasib gue kaya gini, sih?” Mungkin, lo pernah mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini. Ketika kita melihat diri kita sebagai korban dari keadaan, kita cenderung menjadi lebih nggak happy karena kita merasa nggak punya power untuk mengubah situasi. Padahal, sebenarnya kita bisa membuat hal itu tidak menjadi lebih buruk atau bahkan menjadi lebih baik, bila kita mau tetap berpikiran positif. Ada kisah dari abad ke-19 yang bisa kita ambil pelajarannya.
Pada waktu itu, seorang pemuda bernama William James, dilahirkan dari keluarga kaya di Amerika. Namun, William ini mengalami gangguan kesehatan yang cukup buruk. Sehingga, dia sering muntah dan menderita kejang pada tubuh. Pada awalnya, cita-cita William ingin menjadi seorang pelukis. Namun, karena dia tidak berbakat di bidang itu dan juga kurangnya dukungan dari keluarga, dia akhirnya banting setir pindah ke bidang kedokteran. Tetapi, karena dia lakukan hal ini bukan karena kemauannya, akhirnya ia juga di-DO dari kampus.
Nah, karena sudah depresi banget, William sempat terpikir ingin bunuh diri. William bilang ke dirinya sendiri, “Udah deh gue mau bunuh diri aja. Kayaknya gue udah nggak kuat lagi”. Untungnya, dia sempat membaca salah satu buku karya filsuf Charles Pierce. Charles Pierce bilang kalau setiap orang harus bisa 100 persen bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Nah, kata-kata ini ngena banget dan menjadi titik baliknya William. Alhasil, singkat cerita,
William mengubah pandangan hidupnya dan mengubah mindset secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, William membuktikan kalau dia bisa. Hingga hari ini dia dikenal sebagai salah satu pioneer dalam psikologi Amerika.
Nah, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sini? Jadi, ketika kita mengambil tanggung jawab 100 persen terhadap apapun yang terjadi di dalam hidup kita, paling tidak kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik di masa depan. Karena hanya dengan cara inilah kita bisa hidup dengan lebih bahagia.

Keluarlah dari Batasan-batasan Semu
Di dalam buku ini, Mark Manson, menuliskan apa yang dia sebut dengan “Manson’s Law of Avoidance.” Menurut dia, kita cenderung menghindar terhadap hal-hal yang mengancam identitas kita.
Misalnya, kita takut kehilangan hal-hal yang sudah pernah kita capai. Seperti pada saat kita sudah jadi, manager di perusahaan tertentu, kebanyakan orang stuck di zona nyaman mereka. Sehingga, pada saat ada peluang yang lebih baik, kita tidak berani mengambil resiko dan menangkap peluang itu. Nah, yang terjadi adalah ketika identitas kita sudah terikat, kita biasanya menjalani hidup yang kurang memuaskan dan menantang.
Mark Manson mengambil salah satu prinsip dalam ajaran Buddha untuk mengatasi hal ini. Di dalam ajaran agama Buddha, identitas itu ialah sebuah ilusi. Apapun label yang diberikan kepada seseorang, entah itu kaya, miskin, bahagia, sedih, gagal dan lain sebagainya, itu semua hanya konstruksi mental yang sama sekali nggak nyata. Sehingga, kita nggak boleh membiarkan hal-hal itu menentukan bagaimana kita harus menjalani hidup kita.
Makanya, kita harus belajar buat melepaskan identitas kita. Bagaimana caranya? Misalnya, lo lebih bahagia melakukan pekerjaan yang sesuai dengan hobi serta memiliki cukup waktu untuk quality time bersama keluarga. Namun, di satu sisi lo lebih mengutamakan karir, yang membuat lo stuck pada zona nyaman itu. Jadi, bebasin aja diri lo dari batasan-batasan ini, dengan membagi waktu secara proporsional sehingga lo bisa melakukan hal yang dapat membuat lo lebih bahagia.

Berani Mengakui Kesalahan dan Mengatasi Kekhawatiran
Pernah nggak lo kesal banget sama orang-orang yang berpikir kalau mereka itu selalu benar? Orang-orang seperti itu selalu merasa mereka tahu segalanya. Namun, ketika dikasih tahu malah ngeyel. Apa ya yang membuat seseorang bisa merasa dia selalu benar dan tahu segalanya? Dari waktu ke waktu kita mengalami delusi bahwa kita selalu benar, bahkan ketika faktanya kita nggak.
Ini ada cerita dari salah satu teman penulis yang baru saja bertunangan.
Calon suaminya di mata orang-orang di sekitar mereka terlihat cukup ramah dan baik, kecuali di mata adik laki-lakinya. Dia nggak bisa menahan diri untuk mengkritik kalau pilihan kakaknya ini salah. Seringkali ia mencoba meyakinkan kakaknya kalau calon suaminya itu akan menyakiti dia. Orang-orang, termasuk kakaknya sendiri, sudah tahu, kalau si adik cowoknya ini salah. Namun bagaimanapun orang mencoba mengingatkan dia kalau pendapatnya salah, hal itu sepertinya nggak bisa membuat opininya berubah dan menyadarkannya kalau dia itu delusional.
Kalau kita ingin menghindari supaya nggak bertingkah sama, kita harus terus bertanya pada diri sendiri tentang apapun. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengatasi blind spot yang bisa saja membuat kita salah menarik kesimpulan.
Balik lagi ke contoh tadi. Bisa jadi si adik cowoknya ini bertingkah seperti itu karena dia insecure, nggak percaya diri, atau mungkin dia iri dengan kakaknya yang sudah menemukan tambatan hati, sedangkan dia belum. Bisa juga dia cemburu dan khawatir kakaknya nggak akan sayang lagi ke dia dan takut nggak diperhatikan lagi. Entah apapun alasannya itu, baginya mungkin itu adalah satu-satunya cara untuk menghadapi perasaannya sendiri.
Menurut Manson, kita harus bisa mengakui kesalahan kita dan mencoba untuk mengelola insecurity pada diri kita agar dapat membawa hal positif. Emang sih nggak gampang untuk bisa keluar dari zona tersebut, tetapi dalam buku ini kita akan mendapatkan tips gimana sih biar bisa nyaman sama diri lo sendiri. Pasti timbul pertanyaan apa aja tips yang bisa membuat kita lebih percaya diri? Temuin tujuan lo ada di dunia ini. Lo harus fokus pada tujuan lo, abaikan sekitar lo yang mencoba buat lo jatuh.

Kendalikan Romantisme, Jangan Terlalu Menggebu-gebu
Ada penelitian yang bilang, kalau hubungan romantis dan penuh gairah itu memiliki stimulasi pada otak yang mirip seperti kokain. Lo bisa nge-fly, lalu tiba-tiba jatuh lagi. Lalu ninggi lagi dan jatuh lagi. Begitu terus. Meskipun, nggak harus dengan orang yang sama.
Nah, selamat kalian baru saja mendengarkan resep paling mujarab untuk sakit hati. Pada jaman dulu, Shakespeare menulis kisah Romeo dan Juliet yang melegenda. Kisah ini berakhir dengan sepasang kekasih yang melakukan bunuh diri. Tragis atau romantis? Ini merupakan salah satu contoh betapa destruktifnya cinta yang terlalu romantis.
Pada era Renaissance, intinya, penyair-penyair seperti Shakespeare ini menuliskan karya semacam Romeo dan Juliet, sebagai bentuk kritik terhadap romantisme yang merusak. Banyak orang-orang yang melakukan pembunuhan, pencurian, dan perusakan atas nama cinta. Namun, untungnya jaman sekarang sudah jauh berbeda, meskipun masih ada kasus-kasus seperti itu. Cinta yang terlalu romantis itu juga tidak terlalu sehat, kalau landasan berpikirnya salah. Misalnya lo berpikir, “Kalau gue nggak jomblo lagi, pasti gue bisa bahagia.” Pada dasarnya tidak seperti itu.
Cinta yang sehat itu adalah ketika masing-masing dari pasangan, menginvestasikan diri mereka sepenuhnya ke dalam hubungan. Mereka juga akan berkonsentrasi kepada perasaan masing-masing, sebelum menawarkan dukungan dalam bentuk moral atapun moril, terhadap pasangannya. Nah, jadi menurut lo, apa yang harus lo lakukan? Perlu nggak menyerah demi nama romantisme seutuhnya?

Fokus Pada Hal-hal Yang kita Suka
Seorang dokter antropologi bernama Ernest Becker, meninggal pada usia 49 tahun. Dia meninggalkan sebuah warisan untuk kita semua dalam bentuk buku yang berjudul “The Denial of Death.”
Dua ide utama dari buku ini adalah pertama, manusia itu takut mati. Kedua, karena kita tahu kita akan mati, kita mencoba untuk menciptakan sebuah konsep bagaimana diri kita akan hidup setelah kematian. Menurut dia, keinginan inilah yang mendorong orang-orang tertentu untuk mengejar ketenaran.
Sementara sebagian yang lain mungkin berusaha untuk meninggalkan jejak dalam suatu agama, politik, atau bisnis. Nah, yang menjadi masalah adalah ketika ini berada di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang itu akan mencoba untuk memaksakan pandangan mereka terhadap apa yang terjadi di sekeliling. Inilah kemudian pada garis besar, telah menciptakan peperangan, kehancuran dan kesengsaraan. Pada skala yang lebih kecil, hal ini telah menyebabkan para individu tertentu putus asa dan larut dalam stres serta rasa cemas.
Jadi, kalau kita ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia, ya fokus saja dengan hal-hal yang kita suka. Baik itu perjuangan terhadap target-target yang sudah kita tetapkan atau hubungan-hubungan yang sehat. Segala sesuatu yang lain itu hanyalah gangguan yang tidak diperlukan.
Sip Mari Kita Ambil Kesimpulannya!
Pesan utama yang ingin disampaikan di dalam buku ini adalah ketika kita mencoba untuk mengerjakan terlalu banyak hal di dalam hidup, itu membuat fokus kita terpecah. Kita sangat perlu memilah, hanya hal-hal apa saja yang penting bagi kita dan meninggalkan hal-hal yang membuat kita menderita atau nggak happy. Kita dapat mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif dan belajar untuk bertanggung jawab serta mencintai diri kita sendiri.